Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku
Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat
Tawuran di SMK 'B' Jakarta
Nuri Aprilia
Herdina Indrijati
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar
kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuesi pada remaja yang pernah terlibat tawuran di
Jakarta. Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini diungkapkan oleh Salovey dan
Mayer (1997), sedangkan perilaku delinkuensi diungkap oleh Jensen (1992). Penelitian ini
dilakukan pada 44 remaja laki-laki berusia 15-18 tahun, pernah terlibat dalam tawuran, dan
bersekolah di SMK 'B' Jakarta. Keseluruhan responden adalah laki-laki. Alat pengumpulan
data berupa kuisioner. Skala kecerdasan emosi penulis mentranslasi alat ukur Mayer-Salovey-
Carusso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) dalam penelitian Schutte, Malouff, & Bhullar
(2009), nilai reliabilitasnya adalah 0,924, sedangkan untuk skala perilaku tawuran disusun sendiri oleh penulis dengan nilai reliabilitas 0,917. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistic parametric dengan teknik uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi dengan perilaku delinkuensi. Besarnya koefisiensi korelasi (r) antara dua variabel tersebut adalah 0,702 dengan taraf signifikansi 0,000. Sehingga hal ini membuat hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Hasil temuan ini menunjukkan jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B' Jakarta.
Kata kunci : Kecerdasan emosi, perilaku delinkuensi, tawuran, remaja
PENDAHULUAN
Kota Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia, dimana penduduknya dituntut untuk berpikiran maju dan mempunyai perkembangan yang pesat. Namun sebagai kota besar Jakarta tak
lepas dari banyak permasalahan. Salah satu masalah yang terjadi adalah pada remajanya. Dari sekian banyak permasalahan yang dialami oleh remaja, yang cukup mencolok di Jakarta adalah mengenai perkelahian antar pelajar atau tawuran pelajar. Melanjutkan data tawuran pelajar oleh Bimmas Polda Metro Jaya tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sedikitnya sudah 17 pelajar meninggal dunia akibat tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang memakan korban 12 jiwa pelajar. Pada enam bulan pertama tahun 2012 saja telah terjadi 128 kasus tawuran di Jakarta dan 12 kasus perkelahian menyebabkan kematian. Sementara itu pada tahun 2011 terjadi 335 kasus tawuran yang menyebabkan 82 anak meninggal dunia. (“Tawuran Pelajar Meningkat”, 2012). Data te rb a r u ya n g d i d a p a t k a n o l e h Ko m i s i Perlindungan Anak tercatat sepanjang Januari- November 2013 ini terdapat 255 kasus tawuran pelajar di kota Jakarta. Menurut Komnas Anak jumlah ini meningkat sekitar 44 persen di bandingkan tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 255 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA yang tercatat, 20 siswa meninggal dunia. Dan ratusan lainnya mengalami luka berat dan luka ringan. (“2013, Tawuran Meningkat Tajam”, 2013).
Peneliti melakukan
penelitian di SMK 'B'
Jakarta, namun peneliti tidak bisa mendapatkan
data resmi mengenai jumlah siswa yang pernah m
e l ak u k an tawu ra n d ar i p i h a k s e ko l ah .
D i k ar e n ak an p i h a k s eko l a h
m eras a j i k a
sekolahnya sedang menjadi sorotan. Dan mereka mengatakan tidak dapat memberikan
data dikarenakan untuk nama baik sekolah itu sendiri.
Namun Informasi yang peneliti
dapat dari staff pendidik di SMK tersebut,
yaitu guru bimbingan konseling sekolah ini, mereka
mengakui jika memang para siswanya sering terlibat
di dalam sebuah tawuran.
Ini di dapatkan dari hasil wawancara
singkat peneliti dengan guru bimbingan konseling SMK 'B' Jakarta.
Berikut pernyataan dari guru bimbingan konseling sekolah tersebut.
“Setiap bulan sih pasti ada
mbak kasus yang berhubungan
dengan tawuran. Guru bolak-balik dipanggil kepolisian itu sudah biasa.
Beberapa siswa kami juga ada yang meninggal
karena tawuran. Tapi
dari sekolah sendiri sudah melakukan banyak cara untuk
mengatasi tawuran. Misalnya memberi
penyuluhan, memberikan sanksi berat kepada siswa yang terlibat
tawuran,
dan sekolah sudah melakukan
banyak cara untuk
mengatasi tawuran. Misalnya memberi
penyuluhan,
memberikan sanksi berat
kepada siswa yang terlibat tawuran, dan sekolah sudah melakukan sweeping ke lokasi-lokasi yang biasa
dijadikan tempat berkumpul
para siswa setiap pulang sekolah dan
melakukan
tawuran.
Tapi
kadang anak kami tawuran itu
untuk melindungi dirinya karena diserang duluan
sama sekolah lain”
Pernyataan dari guru SMK 'B' Jakarta tersebut
menggambarkan jika
tawuran memang pernah beberapa kali terjadi
pada siswa sekolah ini. Walaupun tidak dapat
diketahui secara kuantitatif berapa
kali jumlah pasti siswa yang melakukan tawuran.
Dari data-data
mengenai tawuran diatas,
memang hampir seluruhnya
dilakukan para
pelajar SMA maupun SMP. Para
pelajar ini masih masuk ke dalam
kategori remaja. Dimana masa remaja
awal dalam rentang 12-15 tahun, masa remaja
pertengahan dalam rentang 15-18 tahun dan
masa remaja akhir dalam rentang 18-21
tahun (Monks, 1999). Umumnya
di Indonesia usia 12-18 tahun merupakan
usia bagi pelajar Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas.
Dalam masa remaja juga
disebutkan
sebagai masa badai dan stress (storm and stress)
yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya
emosi disebabkan karena
remaja berada dalam sebuah tekanan yang
menuntutnya untuk menjadi harapan baru yang
baik di masa depan. Keadaan tertekan semacam ini juga dapat menyebabkan gagalnya seorang
remaja menyelesaikan sebuah permasalahannya, sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga dikarenakan para remaja merasa
mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi
masalahnya sendiri dan menolak bantuan keluarga, orangtua dan guru. Selain itu, remaja juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pengendalian perilaku sosialnya
sendiri,
sesuai
dengan harapan sosial (Hurlock, 1999).
Banyak faktor
yang
dapat menyebabkan terjadinya kenakalan
yang dilakukan oleh remaja,
m i
s a l n y a t u m b u h d a l a m k e l u a r g a y a n g berantakan,
kemiskinan
dan lain sebagainya. Na m u n a d a p e ra n y a n g d i l a k u k a n
o l e h
keterampilan atau kecerdasan
emosional yang melebihi kekuatan keluarga dan ekonomi, dan peran itu sangat
penting dalam menentukan sejauh mana remaja
atau seorang anak tidak dipengaruhi oleh kekerasan atau sejauh mana mereka menemukan
inti ketahanan guna
menanggung kekerasan.
(Goleman, 2000).
Kecerdasan
emosional diartikan sebagai kemampuan mengenali perasaan
sendiri dan orang lain serta
mampu mengelola emosi tersebut
dengan memotivasi diri sendiri.
Kecerdasan emosi sangat diperlukan oleh anak, terutama
remaja yang sangat
rentan dengan tindakan delinkuen (Gottman, 1992), bahwa anak-anak yang bisa mengenali dan menguasai emosinya lebih percaya
diri, lebih baik prestasinya dan akan
menjadi orang dewasa
yang
mampu mengendalikan emosinya. Kecerdasan emosi menunjukkan pada
suatu kemampuan untuk mengatur dan mengelola dorongan-dorongan emosi yang terdapat
dalam diri individu. Keberhasilan atau kegagalan
remaja dalam mengelola emosinya inilah yang digunakan peneliti untuk menyoroti apakah kecerdasan
emosi memiliki hubungan dengan terjadinya perilaku delinkuensi pada remaja yang
pernah
terlibat
tawuran. Peneliti tertarik meneliti mengenai kenakalan
remaja dilihat dari sudut pandang individualnya yaitu sisi kecerdasan emosinya.
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Laki-Laki
B a n y a k
t e o r i
y a n g m e n j e l a s k a n bagaimana sebuah agresivitas muncul, apakah karena pengaruh
biologis genetis, pengaruh lingkungan atau karena pengaruh dari proses pembelajaran.
Selain itu, ada pula yang
mengansumsikan bahwa, pengaruh budaya sangat
mempengaruhi perilaku
agresif, setidaknya muncul
dalam stereotip budaya. Dalam psikologi
gender, juga ada anggapan bahwa, sikap agresivitas juga dipengaruhi oleh jenis
kelamin.
Sering diungkapkan bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan, ini dibuktikan dari banyaknya penelitian
yang berbeda dengan
indicator yang sama. Penelitian
eksperimen yang dilakukan oleh Bandura menguatkan pernyataan, bahwa laki-laki lebih
agresif dari pada perempuan.
Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Whiting dan Edward (dalam Segall dkk, 1999), dalam penelitian ini menunjukkan bahwa: Anak
lelaki lebih menunjukkan ekspresi dominan, Anak laki-laki merespon secara agresif hingga memulai tingkah laku
agresif, Anak laki-laki lebih
menampilkan agresi dalam bentuk fisik atau
verbal. Pada anak perempuan, agresivitas
diwujudkan secara tidak
langsung. Bentuknya adalah
menyebarkan gossip
atau kabar burung, atau dengan menolak atau menjauhi seseorang sebagai bagian
dari
lingkungan pertemanan (Baron &
Byrne, 1994).
Penelitian-penelitian
ini menunjukkan bahwa, memang terdapat bukti kuat yang membedakan perilaku agresivitas antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi intensitas, arah, dan bentuk-bentuk agresi yang dimunculkan. Remaja
laki-laki lebih menujukkan
agresivitas dalam ekspresi fisik, sedangkan perempuan lebih
kepada ekspresi emosional. Hal ini juga
sejalan dengan kasus-kasus tawuran pelajar yang terjadi hampir seluruhnya dilakukan oleh anak laki-laki.
Perilaku Tawuran
Menurut Kartono
(2006), kelompok tawuran
remaja ini pada masa
awalnya
merupakan kelompok bermain
yang dinamis. Permainan yang
m u l a - m u l a b e r s i f a t n e t r a l , b a i k , d a n
menyenangkan, kemudian
berubah menjadi sebuah perilaku eksperimental yang berbahaya dan sering mengganggu atau merugikan orang
lain. Pada akhirnya kegiatan
tersebut menjadi sebuah tindakan kriminal. Dengan
semakin sering frekuensi
kegiatan
bersama
dalam
bentuk
keberandalan dan kejahatan
itu membuat
kelompok remaja ini menjadi semakin “ahli” dalam berkelahi dan terbentuk sebuah perilaku “perkelahian kelompok”,
pengeroyokan, perang
batu, dan termasuk
perkelahian
antarsekolah. Aksi demikian ini mempunya tujuan khusus
yaitu mendapatkan prestige individual juga memiliki dalih untuk menjunjung tinggi
nama sekolah. Mustofa (1998)
membagi
jenis-jenis tawuran pelajar menjadi:
a. Tawuran
pelajar
antara dua kelompok
pelajar dari sekolah yang berbeda yang mempunyai rasa
permusuhan yang telah
terjadi turun-temurun / bersifat tradisional.
b. Tawuran
pelajar antara
dua
kelompok pelajar. Kelompok
yang satu berasal
dari satu sekolah, sedangkan kelompok
yang
lainnya berasal dari suatu perguruan yang didalamnya t e r g a b u n g
b e b e r a p a j e n i s
s e k o l a h .
Permusuhan yang terjadi di antara
dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
c. Tawuran
pelajar
antara dua kelompok
pelajar dari sekolah yang berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini
biasanya dipicu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya
suatu kelompok pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan
berpapasan dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya
terjadilah
saling ejek-mengejek sampai
akhirnya terjadi
tawuran.
d. Tawuran
pelajar
antara dua kelompok
pelajar dari sekolah yang sama tetapi berasal
dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya
tawuran antara
siswa kelas II dengan siswa
kelas III.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya
Tawuran
Menurut Kartono (2006)
ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perkelahian
antar kelompok atau tawuran, dan faktor-faktor itu terbagi ke dalam dua jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal mencakup
reaksi frustasi negatif, gangguan pengamatan dan tanggapan
pada diri remaja,gangguan cara berfikir
pada diri remaja, dan gangguan emosional/perasaan pada diri
remaja. Tawuran pada dasarnya dapat terjadi
k a r e n a t i d a k
b e r h a s i l n y a
r e m a j a u n t u k mengontrol dirinya sendiri.
Gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja antara lain berupa : ilusi, halusinasi, dan gambaran semu. Pada umumnya remaja dalam memberi tanggapan terhadap realita cenderung
melalui pengolhan
batin yang
keliru, sehingga timbullah pengertian yang salah. Hal ini
disebabkan oleh harapan
yang terlalu muluk- muluk dan kecemasan yang terlalu berlebihan. aman dan takut terhadap sesuatu yang tidak
jelas; dan perasaan rendah diri yang dapat
melemahkan cara berfikir, intelektual
dan kemauan anak.
2. Faktor Eksternal
Selain
faktor dari
dalam
(internal)
yang dapat menyebabkan tawuran juga
ada beberapa faktor dari
luar, yaitu keluarga, lingkungan sekolah yang tidak
menguntungkan dan lingkungan sekitar.
Keluarga memegang
peranan penting
dalam membentuk watak anak. Kondisi keluarga sangat
berdampak pada perkembangan
yang dialami s e o ra n g a n a k , a p a b i l a h u b u n g a n d a l a m keluarganya baik maka akan
berdampak positif begitupun sebaliknya, jika hubungan
dalam
keluarganya buruk maka akan
pula membawa
dampak yang buruk terhadap
perkembangan
anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan
a k
a n m e n y e b a b k a n a n a k m e n g a l a m i
ketidakpastian
emosional, perlindungan
dari orang tua,
penolakan orang tua
dan pengaruh buruk orang tua.
Bentuk-Bentuk Perilaku Tawuran
Menurut sarwono (2010) ada beberapa bentuk
perilaku yang biasa muncul pada
saat suatu kelompok tawuran yaitu:
1. P
e r k e l a h i a n ,
p e n g a n c a m a n
a t a u
intimidasi pada orang lain,
2. M
e r u s a k f a s i l i t a s
u m u m .
S e p e r t i melakukan penyerangan ke sekolah lain,
dll.
3. Mengganggu jalannya aktifitas orang lain.
Tawuran yang terjadi juga menyebabkan
terganggunya
aktifitas orang lain atau
m a s y a r a k a t d i s e k i t a r n y a .
S e p e r t i pembajakan bus atau kendaraan umum.
4. Melanggar aturan sekolah,
5. Melanggar undang-undang hukum yang berlaku di suatu Negara
6. Melanggar aturan orang tua
Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan
oleh para remaja ini memang sudah dikategorikan
sebagai bentuk tindakan kriminal karena tidak hanya membahayakan bagi
diri sendiri namun juga menjadikan pihak lain
sebagai korban, bahkan masyarakat sekitar
yang tidak ikut terlibat dalam perilaku tawuran ini juga mendapatkan kerugian fisik maupun materi. Bentuk tindakan tawuran ini
sudah
termasuk ke dalam bentuk perilaku delinkuensi (juvenile
delinquency).
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional merupakan tipe d a r i
ke ce rd a s a n s o s i a l y a n g m e l i b a t k a n
kemampuan untuk memonitor emosi
diri dan orang lain, membedakan jenis emosi tersebut dan menggunakannya untuk mengerahkan pikiran dan
kemampuan dirinya
sendiri. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Goleman
sendiri sebagai suatu kecakapan emosional
yang meliputi kemampuan
mengendalikan diri, memiliki
s e m a n g a t d a n
k e t e k u n a n , k e m a m p u a n memotivasi
diri, ketahanan menghadapi frustasi,
kemampuan mengatur
suasana hati, dan kemampuan menunjukkan empati, harapan serta
optimism. Individu juga
mampu
membina hubungan yang baik dengan orang lain dan mudah mengenali emosi pada orang lain dengan penuh perhatian (Goleman, 1997). Menurut Salovey
dan Mayer (1990) medefinisikan arti formal dari
kecerdasan 

e m o s i o n a l a d a l a h K e m a m p u a n
u n t u k memonitor perasaan diri sendiri dan perasaan
orang lain, untuk membedakan
diantara mereka, dan menggunakan informasi ini untuk
menjadi suatu dasar
pemikiran dan tindakan
d a r i s e s e o ra n g. Ke m u d i a n d e f i n i s i i n i disempurnakan dan dipecah menjadi
empat bagian kemampuan
yang berbeda namun tetap
berkaitan, yaitu: mengamati, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi (Mayer & Salovey, 1997).
1. Cabang
pertama dari kecerdasan emosional, perceiving emotions atau
mengamati emosi, adalah
kemampuan
untuk mendeteksi dan mengartikan emosi di
wajah, gambar, suara, dan artefak budaya.
Ini juga mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri.
Mengamati emosi merupakan aspek yang paling dasar kecerdasan
emosional, karena membuat semua proses lainnya dari informasi
emosional menjadi mungkin.
2. Cabang kedua kecerdasan emosional, using emotions atau menggunakan
emosi, adalah kemampuan untuk memanfaatkan
emosi untuk memfasilitasi berbagai
kegiatan kognitif, seperti berpikir dan memecahkan suatu masalah.
3. Cabang ketiga kecerdasan emosional, understanding emotions atau
pemahaman e m o s i , a d a l a h k e m a m p u a n
u n t u k memahami bahasa
emosi dan untuk
menghargai hubungan yang rumit antara emosi.
4. C a b a n g k e e m p a t k e c e r d a s a n
emosional, managing emotions atau
mengelola emosi, terdiri dari kemampuan
untuk mengatur emosi dalam diri kita sendiri dan orang lain. Semua orang pasti sudah akrab dengan waktu dalam hidup
mereka yang kapan akan mereka
miliki
s e
m e n t a r a , d a n k a d a n g - k a d a n g
memalukan, kehilangan
mengendalikan
emosi mereka.
Oleh karena itu, orang yang cerdas emosi dapat memanfaatkan
emosi, bahkan yang negatif, dan mengatur
mereka untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan
oleh peneliti a d a l a h p e n e l i t i a n k u a n t i t a t i f . t e k n i k pengumpulan data yang digunakan adalah te k n i k
s u r ve y. B e rd a s a r k a n t u j u a n ny a ,
penelitian ini termasuk dalam penelitian eksplanasi. Penelitian eksplanasi adalah
penelitian yang berusaha untuk menjelaskan sebab dari suatu fenomena
yang terjadi (Neuman,
2006). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa laki-laki
di kelas XII di SMK 'B'
Jakarta. Pengisian alat ukur
dilakukan oleh seluruh siswa laki-laki
kelas XII di SMK 'B' Jakarta. Namun untuk analisis
data hanya menggunakan data dari 44 siswa yang pernah terlibat dalam tawuran di Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada
44 remaja laki-laki
berusia 15-18 tahun, pernah terlibat
dalam tawuran, dan bersekolah di SMK 'B' Jakarta.
Keseluruhan responden adalah laki-laki. Alat pengumpulan data berupa 2
buah kuisioner.
Skala kecerdasan emosi penulis
mentranslasi a l a t
u k u r m i l i k
Maye r - S a l ove y - C a r u s s o
Emotional Intelligence Test (MSCEIT) dalam penelitian Schutte, Malouff, & Bhullar (2009), nilai reliabilitasnya
adalah 0,924, sedangkan untuk
skala perilaku tawuran
disusun sendiri oleh penulis dengan nilai reliabilitas 0,917. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah statistic parametric dengan
teknik uji ko re l a s i Pe a r s o n . U j i
ko re l a s i Pe a r s o n menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Hasil uji korelasi antara kecerdasan
emosi dengan perilaku tawuran menunjukkan bahwa nilai
p
kedua variabel tersebut sebesar
p
= .000. Berdasarkan dasar
pengambilan keputusan uji korelasi maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan diantara kedua variabel
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini hasil analisa data menunjukkan jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan
emosi dengan perilaku
tawuran pada remaja laki-laki
yang terlibat tawuran. Dari hasil analisis
data tersebut berarti bisa diartikan jika kecerdasan emosi tinggi maka perilaku tawuran pada remaja akan cenderung rendah.
Kecerdasan emosi dalam penelitian ini mencakup kemampuan seseorang mengamati
emosi, kemampuan
menggunakan emosi, memahami emosi, dan kemampuan
mengelola emosi. Untuk perilaku
tawuran yang termasuk
ke dalam perilaku delinkuensi, maka dikategorikan
ke dalam kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, menimbulkan korban materi pada orang lain, dan kenakalan yang
melawan
status. Penelitian ini sejak
awal telah
menyebutkan jika perilaku
tawuran adalah
salah s a t u b e n t u k d a r i p e r i l a k u d e l i n k u e n s i ,
sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam tinjauan pustaka.
Maka
dari beberapa uraian diatas dan hasil
uji analisis, hasil penelitian ini mendukung
penelitian sebelumnya
yaitu sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Lomas, Stough, Hansen &
Downey (2011) yang mengatakan jika kecerdasan emosi memiliki hubungan
dengan keterlibatan remaja melakukan
perilaku delinkuensi atau kenakalan
pada remaja.
Hasil penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Castillo, Salguero,
Berrocal, & Balluerka (2013)
pada
remaja di Negara Spanyol menemukan
sebuah hasil penelitian
jika remaja yang mempunyai
kecerdasan emosi yang baik akan membuat tingkat perilaku delinkuensi seseorang menjadi rendah, begitu pula
sebaliknya. Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Setyowati (1999) yang
menunjukkan bahwa remaja
yang memiliki
kecerdasan emosi rendah cenderung
melakukan perbuatan delinkuen daripada mereka yang
memiliki kecerdasan
emosi yang tinggi.
Penelitian ini menggunakan hipotesis
b e
r a r a h d i k a r e n a k a n i n g i n m e n d u k u n g
penelitian yang telah dilakukan
oleh Moesono dkk (1996) yang mengatakan jika
terdapat
perbedaan gambaran kecerdasan emosi pada siswa yang sering ikut terlibat dalam tawuran.
Remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang baik
akan dapat mengontrol diri agar tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang
merugikan diri mereka sendiri
maupun orang lain. Penelitian lainnya yang juga mendukung
penelitian ini adalah penelitian dari Moskat dan
Sorensen (2012). Penelitian
tersebut meyebutkan
jika
individ u
yang memiliki
kecerdasan emosional yang lebih tinggi akan lebih mampu
menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang terbentuk
sebelumnya, sehingga menjadi kurang agresif dan kurang cenderung untuk melanggar hukum juga melakukan perilaku kekerasan atau perilaku delinkuensi.
Hasil hubungan
antara kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuensi pada remaja yang
terlibat tawuran di Jakarta pada penelitian ini tergolong besar,
yakni 0,702. Berarti terdapat
hubungan yang cukup kuat dari
kecerdasan emosi terhadap terjadinya perilaku delinkuensi. Hal ini sejalan dengan
pernyataan dari Goleman (2000) yang menyatakan
jika banyak faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya kenakalan
yang dilakukan oleh remaja, misalnya tumbuh
dalam keluarga yang bermasalah, kemiskinan dan lain
sebagainya. Namun ada peran yang dilakukan oleh keterampilan
atau kecerdasan
emosional yang melebihi kekuatan
keluarga dan ekonomi, dan peran itu sangat penting
dalam menentukan sejauh mana remaja atau seorang anak tidak dipengaruhi oleh kekerasan atau sejauh mana mereka bertahan saat
menghadapi kekerasan.
Kecerdasan emosi
dari subjek penelitian ini sebagian besar tergolong pada kategori sedang dan rendah (tabel 4.6).
Dari data tersebut telah digabungkan antara subjek
penelitian yaitu
44 remaja laki-laki yang pernah
terlibat tawuran
di SMK 'B' Jakarta,
dan populasi yaitu jumlah keseluruhan kelas XII di SMK 'B' Jakarta. Dari 127
siswa yang mengikuti
pengisian kuisioner dalam penelitian ini terdapat 44 siswa yang
pernah
terlibat tawuran dan 83
siswa yang tidak pernah
melakukan tawuran. Dari norma untuk
kecerdasan emosi dapat dilihat jika terdapat 26 subjek
yang tergolong ke
dalam kecerdasan emosi rendah dan sangat
rendah. Jumlah
keseluruhan subjek yang tergolong rendah
dan sangat rendah terdapat pada subjek yang pernah terlibat tawuran, dan 18 subjek yang pernah terlibat tawuran memiliki
kecerdasan emosi yang tergolong
sedang. Dari data
norma yang ada
dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi dari
subjek penelitian cenderung rendah.
Sedangkan untuk perilaku
tawuran dari subjek penelitian
ini sebagian besar tergolong
sedang, tinggi, dan sangat
tinggi (tabel 4.9). dari
127 siswa yang mengisi
kuisioner terlihat jelas pada
tabel 4.9 jika 44 subjek
yang pernah terlibat
tawuran tergolong ke dalam kategori tinggi dan
sangat tinggi. Hanya 4 subjek
yang
masuk ke dalam kategori sedang. Terlihat jelas
perbedaan antara siswa yang pernah terlibat dalam tawuran dan
yang tidak pernah terlibat dalam tawuran. Dari kecerdasan emosinya-pun terlihat jika siswa yang per nah terli b at tawu ran m em i li ki
kecerdasan emosi yang cenderung rendah.
Analisis norma ini semakin menguatkan hasil penelitian ini jika terdapat
hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku
tawuran pada remaja
laki-laki di SMK 'B' Jakarta.
Walaupun dari 127 remaja laki-laki di SMK 'B' Jakarta hanya 44 siswa
yang dapat dijadikan subjek penelitian untuk remaja yang
pernah terlibat tawuran, namun hal ini cukup
mengkhawatirkan dikarenakan hanya
dalam satu sekolah di Jakarta jumlah siswa yang
melakukan perilaku tawuran cukup
tinggi. Jika dikaitkan dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengenai kasus tawuran pelajar
di DKI Jakarta pada tahun 2013 yang berjumlah
255 kasus, maka bisa dikatakan jika remaja
yang terlibat dalam tawuran di Jakarta ini sangat
banyak jumlahnya.
Dengan banyaknya remaja yang terlibat d
a l a m t a w u r a n
i n i
m e n j a d i
s a n g a t
mengkhawatirkan mengingat
salah satu tugas perkembangan pada masa remaja
adalah menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.
Dimana untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha
mempersiapkan diri dengan menempuh
pendidikan formal dan non- formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/ keahlian yang professional Havighurst (dalam Dariyo, 2004). Schaie (dalam Dariyo, 2004) mengatakan jika masa tersebut diistilahkan sebagai
masa aquisitif yakni masa di
mana remaja berusaha untuk mencari
bekal
p e n g e t a h u a n
d a n
k e t e r a m p i l a n g u n a
mewujudkan cita-citanya
agar menjadi seorang ahli yang profesional di bidangnya. Karena itu adalah hal wajar agar
remaja dipersiapkan dan
mempersiapkan diri secara matang dan sebaik-
baiknya. Setiap sekolah
yang
ada pastinya mengajarkan hal-hal baik kepada siswanya guna
mempersiapkan diri para
siswa untuk terjun ke masyarakat.
Namun kenyataan yang terjadi pada saat
ini marak terjadi tawuran
atau perkelahian antar sekolah yang dilakukan oleh para siswa. Tentu saja tawuran ini adalah kegiatan
yang negatif dan tidak ada manfaatnya
untuk para remaja. Tawuran hanya
akan menyebabkan korban dan kerugian
fisik maupun materi.
Perilaku penyerangan
atau tawuran ini adalah perilaku yang diakibatkan kurangnya
kemampuan seorang remaja untuk
mengelola emosi atau kemarahannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Salovey
dan Mayer (1990) yang mengatakan
jika orang yang memiliki kecerdasan emosi mampu menyalurkan kemarahannya untuk hal-hal yang positif. Bisa dicontohkan
dalam hal tawuran remaja ini. Jika
seorang remaja yang merasa marah atau tidak terima jika sekolahnya diserang atau diperolok oleh sekolah yang dianggap
'musuh'nya, remaja yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik akan
dapat menyalurkan kemarahannya melalui hal yang lebih positif, contohnya mungkin
dengan melakukan sesuatu
yang bisa membuat s
e k o l a h n y a l e b i h b e r p r e s t a s i l a g i .
Kemarahannya bisa dijadikan sebuah motivasi untuk menjadi lebih baik. Sehingga hasil yang
didapat dari penelitian ini adalah remaja yang
memiliki kecerdasan emosi yang tinggi maka
akan
membuat perilaku
delinkuensi pada
remaja cenderung menjadi
rendah.
Dari hasil wawancara singkat
dengan guru sekolah tersebut,
yang
hasil wawancara
terdapat pada latar belakang, dapat diambil kesimpulan jika sekolah sendiri sudah cukup
banyak mengupayakan cara agar meminimalisir terjadinya tawuran ini. Namun kembali lagi kepada siswanya masing-masing. Tiap-tiap
individu pastinya memiliki cara berpikir dan kemampuan mengolah emosi yang berbeda.
Dan
kemampuan mengolah emosi
yang rendah inilah yang membuat seorang remaja akan melakukan tawuran.
Semua doktrin ataupun ajakan untuk melakukan tawuran, perkelahian,
ataupun penyerangan terhadap
sekolah lain tidak akan berpengaruh untuk remaja yang
memiliki kecerdasan
emosi yang tinggi.
Penelitian ini dilakukan hanya pada subjek laki-laki. Dikarenakan
dalam beberapa t
e o r i m e n g e n a i p e r i l a k u d e l i n k u e n s i menyebutkan
jika anak laki-laki
lebih banyak
y a n g m e l a k u k a n
k e n a k a l a n
r e m a j a
dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki
lebih sering terlibat dalam perilaku kekerasan. M
e n u r u t p e n e l i t i a n d a r i S a a d ( 2 0 0 3 )
p e rb a n d i n g a n a n a k l a k i - l a k i
d a n
a n a k
perempuan melakukan tindakan perkelahian
pelajar adalah 50:1.
Penelitian ini tentunya memiliki
beberapa kelemahan yang dapat
mempengaruhi pembahasan atau analisis
pada subjek. Beberapa
kelemahan dalam penelitian
ini yaitu : Metode pengambilan data menggunakan uji terpakai. Dimana alat ukur yang digunakan pada subjek
tidak melalui uji coba awal sebelumnya. Uji coba
berguna untuk mengetahui
apakah aitem-aitem
yang tersedia sudah cukup
jelas dan mudah
dipahami. Sedang dalam penelitian
ini penyusunan alat ukur hanya dibantu
oleh rater atau professional judgment dalam menilai perbaikan kalimat yang digunakan
dalam alat ukur tersebut. Namun uji coba terpakai digunakan karena keterbatasannya jumlah
populasi subjek. Kelemahan selanjutnya
penelitian ini hanya dilakukan di satu sekolah.
Sehingga jumlah subjek yang didapat
tidak terlalu banyak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil uji analisa data
didapatkan sebuah kesimpulan
jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuensi pada remaja yang
pernah terlibat tawuran di Jakarta.
Hubungan negative ini menunjukkan jika semakin tinggi kecerdasan
emosi seorang remaja makan
akan semakin rendah
perilaku delinkuensi atau
kenakalan pada remaja. Saran untuk peneliti
selanjutnya : mengumpulkan data pasti jumlah pelajar yang tawuran sehingga memungkinkan untuk menggunakan metode random
sampling. Jika ingin meneliti
mengenai tawuran pelajar bisa melakukan penelitian di beberapa sekolah agar
mendapat subjek yang lebih banyak. Saran
untuk sekolah yang siswanya terlibat tawuran : bisa memberikan pendekatan secara individual
kepada siswa yang terlibat tawuran. Karena pendekatan individual ini dapat melatih siswa agar lebih memiliki keterampilan memahami emosi. Saran untuk
remaja yang terlibat
tawuran : untuk
mencegah terjadinya tawuran sebaiknya siswa langsung kembali ke rumah masing-masing setelah pulang
sekolah. Jika ingin melakukan aktifitas
lain bisa dilakukan di sekolah karena akan
lebih aman dengan pengawasan guru, dan kemungkinan terjadinya penyerangan dari sekolah lainpun semakin
kecil. Untuk para remaja
yang
merasa mudah terpancing emosi
akibat penyerangan
sekolah lai dapat mencoba untuk
menyalurkan kemarahannya pada
kegiatan seperti olahraga dan ekstrakulikuler lainnya di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A., Byrne, D. (1994). Social psychology:
understanding human interaction, (10th ed.), Allyn &
Bacon, A Division of Simon &
Schuster, Inc, Boston.
Castillo R, Salguero JM, Fernández-Berrocal P, Balluerka N. (2013).
Effects
of an emotional intelligence intervention on aggression and empathy
among adolescents. Journal
of adolescent.
Dariyo, A, (2004).
Psikologi Perkembangan
Remaja, Bogor : Ghalia Indonesia.
E. Bynum,
Jack. Dan E. Thompson, William.
(2002). Juvenile Delinquency a Sociological Approach. Boston:
A Pearson Education Company. Fifth editions.
Goleman D.
(1997). Kecerdasan Emosional: Mengapa
EI Lebih Penting daripada IQ. Heryana T,
penerjemah. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka
Utama.
Hurlock, Elizabeth, B. (1999). Psikologi Perkembangan:
“Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan” (Terjemahan
Istiwidayanti &
Soedjarno). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jensen, G., & Rojek,
D. G.
(1992). Delinquency and youth crime. Prospect Heights, Ill:
Waveland. Kartono, Kartini. (2006). Kenakalan
Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kim, D. H., Wang,
C., Ng, K. M. (2010). A rasch rating scale modeling
of the schutte self -
Report emotional intelligence scale
in a sample of international students.
Assessment, 17,4, 484-496.
Lomas, J.,
Stough, C., Hansen, K. e Downey,
L. A. (2011) Brief report:
Emotional intelligence,
victimisation and bullying in
adolescents. Journal of Adolescence, doi:10.1016/j.adolescence.2011.03.002.
Magai, C., Distel, N.,
& Liker, R. (1995). Emotion socialisation, attachment and patterns
of adult emotional traits.
Cognition and Emotion, 9(5),461–481.
Mayer, J.
D., & Salovey, P.
(1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey &
D. Sluyter (Eds.),
Emotional development and emotional intelligence: Educational
implications (pp. 3–31).
New
York, NY: Basic Books.
Moskat,H.J., & Sorensen, K.M. (2012). Let's talk
about feelings: Emotional Intelligence
and Aggression
Predict Juvenile Offense. Honors in Psychology, Whitman
College.
Moesono, A. dkk. (1996). Faktor-faktor
pendukung terjadinya perkelahian sekolah dan kecenderungan pemecahan masalah oleh siswa.
Kerjasama proyek Pembinaan
Anak & Remaja
Dirjend Kebudayaan
dan Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Budaya Lembaga Penelitian UI.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P.,
Rahayu, Haditono, Siti, (1999). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam
Berbagai Bagiannya,
Cetakan 2, Gadjah Mada University
Press, Yogjakarta.
Munthe, J. (2013,
21 Desember). 2013, Tawuran meningkat tajam.
sh.news [on-line]. Diakses pada tanggal 27 Desember 2013 dari http://www.shnews.co/detile-29900-2013-tawuran-pelajar- meningkat-tajam.html
Mustofa, M. (1998). Perkelahian massal pelajar antar sekolah di DKI
Jakarta Studi kasus
berganda, rekonstruksi berdasarkan paradigma
konstruksivisme. Disertasi
(Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pallant, J. (2011). SPSS Survival Manual
(4th Ed). Sydney:
Midland Typesetter.
Papalia,
D.E., Olds, S.W. dan Feldman, R.D. (2007). Human Development.
10th edition.
New
York :
McGraw Hill. International
Edition.