Senin, 16 Mei 2016

Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B' Jakarta

Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku
Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat
Tawuran di SMK 'B' Jakarta

Nuri Aprilia
Herdina Indrijati
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar
kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuesi pada remaja yang pernah terlibat tawuran di
Jakarta. Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini diungkapkan oleh Salovey dan
Mayer (1997), sedangkan perilaku delinkuensi diungkap oleh Jensen (1992). Penelitian ini
dilakukan pada 44 remaja laki-laki berusia 15-18 tahun, pernah terlibat dalam tawuran, dan
bersekolah di SMK 'B' Jakarta. Keseluruhan responden adalah laki-laki. Alat pengumpulan
data berupa kuisioner. Skala kecerdasan emosi penulis mentranslasi alat ukur Mayer-Salovey-
Carusso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) dalam penelitian Schutte, Malouff, & Bhullar
(2009), nilai reliabilitasnya adalah 0,924, sedangkan untuk skala perilaku tawuran disusun sendiri oleh penulis dengan nilai reliabilitas 0,917. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistic parametric dengan teknik uji korelasi Pearson. Uji korelasi Pearson menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi dengan perilaku delinkuensi. Besarnya koefisiensi korelasi (r) antara dua variabel tersebut adalah 0,702 dengan taraf signifikansi 0,000. Sehingga hal ini membuat hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Hasil temuan ini menunjukkan jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B' Jakarta.
Kata kunci : Kecerdasan emosi, perilaku delinkuensi, tawuran, remaja
PENDAHULUAN
Kota Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia, dimana penduduknya dituntut untuk berpikiran maju dan mempunyai perkembangan yang pesat. Namun sebagai kota besar Jakarta tak
lepas dari banyak permasalahan. Salah satu masalah yang terjadi adalah pada remajanya. Dari sekian banyak permasalahan yang dialami oleh remaja, yang cukup mencolok di Jakarta adalah mengenai perkelahian antar pelajar atau tawuran pelajar. Melanjutkan data tawuran pelajar oleh Bimmas Polda Metro Jaya tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sedikitnya sudah 17 pelajar meninggal dunia akibat tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang memakan korban 12 jiwa pelajar. Pada enam bulan pertama tahun 2012 saja telah terjadi 128 kasus tawuran di Jakarta dan 12 kasus perkelahian menyebabkan kematian. Sementara itu pada tahun 2011 terjadi 335 kasus tawuran yang menyebabkan 82 anak meninggal dunia. (“Tawuran Pelajar Meningkat”, 2012). Data te rb a r u ya n g d i d a p a t k a n o l e h Ko m i s i Perlindungan Anak tercatat sepanjang Januari- November 2013 ini terdapat 255 kasus tawuran pelajar di kota Jakarta. Menurut Komnas Anak jumlah ini meningkat sekitar 44 persen di bandingkan tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 255 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA yang tercatat, 20 siswa meninggal dunia. Dan ratusan lainnya mengalami luka berat dan luka ringan. (“2013, Tawuran Meningkat Tajam, 2013).
Peneliti melakukan penelitian di SMK 'B' Jakarta, namun peneliti tidak bisa mendapatkan data resmi mengenai jumlah siswa yang pernah m e l ak u k a tawu ra  d ar  p i h a  s e ko l ah . D i k ar e n ak a p i h a  s eko l a  m eras  j i k a sekolahnya sedang menjadi sorotan. Dan mereka mengatakan tidak dapat memberikan data dikarenakan untuk nama baik sekolah itu sendiri. Namun Informasi yang peneliti dapat dari staff pendidik di SMK tersebut, yaitu guru bimbingan konseling sekolah ini, mereka mengakui jika memang para siswanya sering terlibat di dalam sebuah tawuran.    Ini di dapatkan dari hasil wawancara singkat peneliti dengan guru bimbingan konseling SMK 'B' Jakarta. Berikut pernyataan dari guru bimbingan konseling sekolah tersebut.
Setiap bulan sih pasti ada mbak kasus yang berhubungan dengan tawuran. Guru bolak-balik dipanggil kepolisian itu sudah biasa. Beberapa siswa kami juga ada yang meninggal karena  tawuran. Tapi  dari  sekolah sendiri sudah melakukan banyak cara untuk mengatasi tawuran. Misalnya memberi penyuluhan, memberikan sanksi berat kepada siswa yang terlibat tawuran, dan sekolah sudah melakukan banyak cara untuk mengatasi tawuran. Misalny member penyuluhan,
memberikan   sanksi  berat  kepada siswa yang terlibat tawuran, dan sekolah sudah melakukan sweeping ke lokasi-lokasi yang biasa dijadikan tempat berkumpul para siswa setiap pulang sekolah dan melakukan tawuran. Tapi kadang anak kami tawuran itu untuk melindungi dirinya karena diserang duluan sama sekolah lain
Pernyataan dari guru SMK 'B' Jakarta tersebut menggambarkan jika tawuran memang pernah beberapa kali terjadi pada siswa sekolah ini. Walaupun tidak dapat diketahui secara kuantitatif berapa kali jumlah pasti siswa yang melakukan tawuran.
Dari data-data mengenai tawuran diatas, memang hampir seluruhnya dilakukan para pelajar SMA maupun SMP. Para pelajar ini masih masuk ke dalam kategori remaja. Dimana masa remaja awal dalam rentang 12-15 tahun, masa remaja pertengahan dalam rentang 15-18 tahun dan masa remaja akhir dalam rentang 18-21 tahun (Monks, 1999). Umumnya di Indonesia usia 12-18 tahun merupakan usia bagi pelajar Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.
Dalam masa remaja juga disebutkan sebagai masa badai dan stress (storm and stress) yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi disebabkan karena remaja berada dalam sebuah tekanan yang menuntutnya untuk menjadi harapan baru yang baik di masa depan. Keadaan tertekan semacam ini juga dapat menyebabkan gagalnya seorang remaja menyelesaikan sebuah permasalahannya, sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah. Masalah-masalah yang terjadi pada remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi juga dikarenakan para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan keluarga, orangtua dan guru. Selain itu, remaja juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pengendalian  perilaku  sosialnya  sendiri,  sesuai dengan harapan sosial (Hurlock, 1999).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kenakalan yang dilakukan oleh remaja, m i s a l n y  t u m b u  d a l a  k e l u a r g  y a n g berantakan,  kemiskinan  dan  lain  sebagainya. Na m u  a d  p e ra  y a n  d i l a k u k a  o l e h keterampilan atau kecerdasan emosional yang melebihi  kekuatan  keluarga dan ekonomi, dan peran itu sangat penting dalam menentukan sejauh mana remaja atau seorang anak tidak dipengaruhi oleh kekerasan atau sejauh mana mereka menemukan inti ketahanan guna menanggung kekerasan. (Goleman, 2000).
Kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan mengenali perasaan sendiri dan orang lain serta mampu mengelola emosi tersebut dengan memotivasi diri sendiri. Kecerdasan emosi sangat diperlukan oleh anak, terutama remaja yang sangat rentan dengan tindakan delinkuen (Gottman, 1992), bahwa anak-anak yang bisa mengenali dan menguasai emosinya lebih percaya diri, lebih baik prestasinya dan akan menjadi orang dewasa yang mampu mengendalikan emosinya. Kecerdasan emosi menunjukkan pada suatu kemampuan untuk mengatur dan mengelola dorongan-dorongan emosi yang terdapat dalam diri individu. Keberhasilan atau kegagalan remaja dalam mengelola emosinya inilah yang digunakan peneliti untuk menyoroti apakah kecerdasan emosi memiliki hubungan dengan terjadinya perilaku  delinkuensi  pada  remaja yang  pernah terlibat tawuran. Peneliti tertarik meneliti mengenai kenakalan remaja dilihat dari sudut pandang individualnya yaitu sisi kecerdasan emosinya.

TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Laki-Laki
B a n y a  t e o r  y a n  m e n j e l a s k a n bagaimana sebuah agresivitas muncul, apakah karena pengaruh biologis genetis, pengaruh lingkungan atau karena pengaruh dari proses pembelajaran.  Selain itu, ada pula yang mengansumsikan bahwa, pengaruh budaya sangat mempengaruhi perilaku agresif, setidaknya muncul dalam stereotip budaya. Dalam psikologi gender, juga ada anggapan bahwa, sikap agresivitas juga dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Sering diungkapkan bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan, ini dibuktikan dari banyaknya penelitian yang berbeda dengan indicator yang sama. Penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Bandura menguatkan pernyataan, bahwa laki-laki lebih agresif dari pada perempuan. Hasil penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Whiting dan Edward (dalam Segall dkk, 1999), dalam penelitian ini menunjukkan bahwa: Anak lelaki lebih menunjukkan ekspresi dominan, Anak laki-laki merespon secara agresif hingga memulai tingkah laku agresif, Anak laki-laki lebih menampilkan agresi dalam bentuk fisik atau verbal. Pada anak perempuan, agresivitas diwujudkan secara tidak langsung. Bentuknya adalah menyebarkan gossip atau kabar burung, atau dengan menolak atau menjauhi seseorang sebagai bagian dari lingkungan pertemanan (Baron & Byrne, 1994).
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa, memang terdapat bukti kuat yang membedakan perilaku agresivitas antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi intensitas, arah, dan bentuk-bentuk agresi yang dimunculkan. Remaja laki-laki lebih menujukkan agresivitas dalam ekspresi fisik, sedangkan perempuan lebih kepada ekspresi emosional. Hal ini juga sejalan dengan kasus-kasus tawuran pelajar yang terjadi hampir seluruhnya dilakukan oleh anak laki-laki.

Perilaku Tawuran
Menurut Kartono (2006), kelompok tawuran remaja ini pada masa awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis. Permainan yang m u l a - m u l  b e r s i f a  n e t r a l  b a i k  d a n menyenangkan, kemudian berubah menjadi sebuah perilaku eksperimental yang  berbahaydan sering mengganggu atau merugikan orang lain.  Pada  akhirnya  kegiatan  tersebut  menjadi sebuah tindakan kriminal. Dengan semakin sering frekuensi   kegiatan   bersama  dalam   bentuk keberandalan   dan   kejahatan   itu   membuat kelompok  remaja  ini  menjadi  semakin  ahli” dalam berkelahi dan terbentuk sebuah perilaku “perkelahian  kelompok,  pengeroyokan,  perang batu,  dan  termasuk  perkelahian  antarsekolah. Aksi demikian ini mempunya tujuan khusus yaitu mendapatkan prestige  individual juga memiliki dalih untuk menjunjung tinggi nama sekolah. Mustofa  (1998)   membagi   jenis-jenis   tawuran pelajar menjadi:
a. Tawuran  pelajar  antara  dua  kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turun-temurun / bersifat tradisional.
bTawuran  pelajar  antara  dua  kelompok pelajar. Kelompok yang satu berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok yang lainnya berasal dari suatu perguruan yang didalamnya t e r g a b u n  b e b e r a p  j e n i  s e k o l a h . Permusuhan yang terjadi di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
c.  Tawuran  pelajar  antara  dua  kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya dipicu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan berpapasan dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya terjadilah saling ejek-mengejek sampai akhirnya terjadi tawuran.
d.  Tawuran  pelajar  antara  dua  kelompok pelajar dari sekolah yang sama tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya tawuran antara siswa kelas II dengan siswa kelas III.
Faktor-Faktor  yang   Mempengaruhi  Terjadinya
Tawuran
Menurut Kartono (2006) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok atau tawuran, dan faktor-faktor itu terbagi ke dalam dua jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.            Faktor Internal
Faktor internal mencakup reaksi frustasi negatif, gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja,gangguan cara berfikir pada diri remaja, dan gangguan emosional/perasaan pada diri remaja.  Tawuran  pada  dasarnya  dapat  terjadi k a r e n  t i d a  b e r h a s i l n y  r e m a j  u n t u k mengontrol dirinya sendiri.
Gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja antara lain berupa : ilusi, halusinasi, dan gambaran semu. Pada umumnya remaja dalam memberi tanggapan terhadap realita cenderung melalui  pengolhan  batin yang  keliru,  sehingga timbulla pengertian   yan salah Ha ini disebabkan  oleh  harapan  yang  terlalu  muluk- muluk dan kecemasan yang terlalu berlebihan. aman dan takut terhadap sesuatu yang tidak jelas; dan perasaan rendah diri yang dapat melemahkan cara berfikir, intelektual dan kemauan anak.
2.            Faktor Eksternal
Selain  faktor dari  dalam  (internal)  yang  dapat menyebabkan tawuran juga ada beberapa faktor dari luar, yaitu keluarga, lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan dan lingkungan sekitar. Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk watak anak. Kondisi keluarga sangat berdampak  pada  perkembangan  yang  dialami s e o ra n  a n a k  a p a b i l  h u b u n g a  d a l a m keluarganya baik maka akan berdampak positif begitupun sebaliknya, jika hubungan dalam keluarganya buruk maka akan pula membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan a k a  m e n y e b a b k a  a n a  m e n g a l a m i ketidakpastian emosional, perlindungan dari orang  tua,  penolakan orang  tua dan pengaruh buruk orang tua.

Bentuk-Bentuk Perilaku Tawuran
Menurut sarwono (2010) ada beberapa bentuk perilaku yang biasa muncul pada saat suatu kelompok tawuran yaitu:
1.            P e r k e l a h i a n  p e n g a n c a m a  a t a u intimidasi pada orang lain,
2.           M e r u s a  f a s i l i t a  u m u m  S e p e r t i melakukan penyerangan ke sekolah lain, dll.
3.         Mengganggu jalannya aktifitas orang lain.
Tawuran yang terjadi juga menyebabkan terganggunya  aktifitas  oran lain  atau m a s y a r a k a  d  s e k i t a r n y a  S e p e r t i pembajakan bus atau kendaraan umum.
4.         Melanggar aturan sekolah,
5.           Melanggar undang-undang hukum yang berlaku di suatu Negara
6.         Melanggar aturan orang tua
Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan oleh para remaja ini memang sudah dikategorikan sebagai bentuk tindakan kriminal karena tidak hanya membahayakan bagi diri sendiri namun juga menjadikan pihak lain sebagai korban, bahkan masyarakat sekitar yang tidak ikut terlibat dalam perilaku tawuran ini juga mendapatkan kerugian fisik maupun materi. Bentuk tindakan tawuran ini sudah termasuk ke dalam bentuk perilaku delinkuensi (juvenile delinquency).

Kecerdasan Emosi
Kecerdasan  emosional  merupakan  tipe d a r  ke ce rd a s a  s o s i a  y a n  m e l i b a t k a n kemampuan untuk memonitor emosi diri dan orang lain, membedakan jenis emosi tersebut dan menggunakannya untuk mengerahkan pikiran dan kemampuan dirinya sendiri. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Goleman sendiri sebagai suatu kecakapan emosional yang meliputi kemampua mengendalikan   diri memiliki s e m a n g a  d a  k e t e k u n a n  k e m a m p u a n memotivasi diri, ketahanan menghadapi frustasi, kemampuan mengatur suasana hati, dan kemampuan menunjukkan empati, harapan serta optimism. Individu juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain dan mudah mengenali emosi pada orang lain dengan penuh perhatian (Goleman, 1997). Menuru Salovey  da Mayer  (1990medefinisikan arti formal dari kecerdasan 
e m o s i o n a  a d a l a  K e m a m p u a  u n t u k memonitor perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, untuk membedakan diantara mereka, dan menggunakan informasi ini untuk menjadi suatu   dasar pemikiran dan tindakan d a r  s e s e o ra n g Ke m u d i a  d e f i n i s  i n i disempurnakan dan dipecah menjadi empat bagian kemampuan yang berbeda namun tetap berkaitan, yaitu: mengamati, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi (Mayer & Salovey, 1997).
1.              Caban pertam dar kecerdasan emosional, perceiving emotions atau mengamati emosi, adalah kemampuan untuk mendeteksi dan mengartikan emosi di wajah, gambar, suara, dan artefak budaya. Ini juga mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri. Mengamati emosi merupakan aspek yang paling dasar kecerdasan emosional, karena membuat semua proses lainnya dari informasi emosional menjadi mungkin.
2.             Cabang kedua kecerdasan emosional, using emotions atau menggunakan emosi, adalah kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kognitif, seperti berpikir dan memecahkan suatu masalah.
3.             Cabang ketiga kecerdasan emosional, understanding emotions atau pemahaman e m o s i  a d a l a  k e m a m p u a  u n t u k memahami bahasa emosi dan untuk menghargai hubungan yang rumit antara emosi.
4.             C a b a n  k e e m p a  k e c e r d a s a n emosional, managing emotions atau mengelola emosi, terdiri dari kemampuan untuk mengatur emosi dalam diri kita sendiri dan orang lain. Semua orang pasti sudah akrab dengan waktu dalam hidup mereka  yang  kapan  akan  mereka  miliki s e m e n t a r a  d a  k a d a n g - k a d a n g memalukan kehilanga mengendalikan
emosi mereka. Oleh karena itu, orang yang cerdas emosi dapat memanfaatkan emosi, bahkan yang negatif, dan mengatur mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti a d a l a  p e n e l i t i a  k u a n t i t a t i f  t e k n i k pengumpulan  data  yang  digunakan  adalah te k n i  s u r ve y B e rd a s a r k a  t u j u a n ny a , penelitian ini termasuk dalam penelitian eksplanasi. Penelitian eksplanasi adalah penelitian yang  berusaha untuk  menjelaskan sebab dari suatu fenomena yang terjadi (Neuman, 2006). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa laki-laki di kelas XII di SMK 'B' Jakarta. Pengisian alat ukur dilakukan oleh seluruh siswa laki-laki kelas XII di SMK 'B' Jakarta. Namun untuk analisis data hanya menggunakan data dari 44 siswa yang pernah terlibat dalam tawuran di Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada 44 remaja laki-laki berusia 15-18 tahun, pernah terlibat dalam tawuran, dan  bersekolah di  SMK  'B'  Jakarta. Keseluruhan responden adalah laki-laki. Alat pengumpulan data berupa 2  buah  kuisioner. Skala kecerdasan emosi penulis mentranslasi a l a  u k u  m i l i  Maye r - S a l ove y - C a r u s s o Emotional  Intelligence Test (MSCEIT) dalam penelitian Schutte, Malouff, & Bhullar (2009), nilai reliabilitasnya adalah 0,924, sedangkan untuk skala perilaku tawuran disusun sendiri oleh penulis dengan nilai reliabilitas 0,917. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistic parametric dengan teknik uji ko re l a s  Pe a r s o n  U j  ko re l a s  Pe a r s o n menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Hasil uji korelasi antara kecerdasan emosi dengan perilaku tawuran menunjukkan bahwa nilai p kedua variabel tersebut sebesar p = .000. Berdasarkan dasar pengambilan keputusan uji korelasi maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan diantara kedua variabel
tersebut sebesar -0.702, arti tanda (-) berarti hasil uji korelasi adalah negatif.    Dapat dilihat jika korelasi  antara  kedua  variabel  cukup  tinggi diantara 0,50 1,0 (Cohen, dalam Pallant 2011), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa arah hubungan kedua variabel tersebut adalah negatif. Dari  hasil  analisis  data  tersebut  berarti  bisa diartikan  jika  kecerdasan  emosi  tinggi  maka perilaku  tawuran  pada  Remaja  Laki-laki  yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B' Jakarta akan cenderung rendah begitu juga sebaliknya.
PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini hasil analisa data menunjukkan jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku tawuran pada remaja laki-laki yang terlibat tawuran. Dari hasil analisis data tersebut berarti bisa diartikan jika kecerdasan emosi tinggi maka perilaku tawuran pada remaja akan cenderung rendah. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini mencakup kemampuan seseorang mengamati emosi, kemampuan menggunakan emosi, memahami emosi, dan kemampuan mengelola emosi. Untuk perilaku tawuran yang termasuk ke dalam perilaku delinkuensi, maka dikategorikan ke dalam kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, menimbulkan korban materi pada orang lain, dan kenakalan yang melawan status. Penelitian ini sejak awal telah menyebutkan jika perilaku tawuran adalah salah s a t  b e n t u  d a r  p e r i l a k  d e l i n k u e n s i , sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka.
Maka dari beberapa uraian diatas dan hasil uji analisis, hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lomas, Stough, Hansen & Downey (2011) yang mengatakan jika kecerdasan emosi memiliki hubungan dengan keterlibatan remaja melakukan perilaku delinkuensi atau kenakalan pada remaja.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Castillo, Salguero, Berrocal,  &  Balluerka  (2013)  pada  remaja  di Negara Spanyol menemukan sebuah hasil penelitian jika remaja yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik akan membuat tingkat perilaku delinkuensi seseorang menjadi rendah, begitu pula sebaliknya. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Setyowati (1999) yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kecerdasan emosi rendah cenderung melakukan perbuatan delinkuen daripada mereka yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.

Penelitian  ini  menggunakan  hipotesis b e r a r a  d i k a r e n a k a  i n g i  m e n d u k u n g penelitian yang telah dilakukan oleh Moesono dkk (1996) yang mengatakan jika terdapat perbedaan gambaran kecerdasan emosi pada siswa yang sering ikut terlibat dalam tawuran. Remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan dapat mengontrol diri agar tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang merugikan diri  mereka sendiri  maupun orang lain. Penelitian lainnya yang juga mendukung penelitian ini adalah penelitian dari Moskat dan Sorensen (2012). Penelitian tersebut meyebutkan jik individ  yan memilik kecerdasan emosional yang lebih tinggi akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang terbentuk sebelumnya, sehingga menjadi kurang agresif dan kurang cenderung untuk melanggar hukum juga melakukan perilaku kekerasan atau perilaku delinkuensi.
Hasil hubungan antara kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuensi pada remaja yang terlibat tawuran di Jakarta pada penelitian ini tergolong besar, yakni 0,702. Berarti terdapat hubungan yang cukup kuat dari kecerdasan emosi terhadap terjadinya perilaku delinkuensi. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Goleman (2000) yang menyatakan jika banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kenakalan yang dilakukan oleh remaja, misalnya tumbuh dalam keluarga yang bermasalah, kemiskinan dan lain sebagainya.  Namun ada peran yang dilakukan oleh keterampilan atau kecerdasan emosional yang melebihi kekuatan keluarga dan ekonomi,dan peran itu sangat penting dalam menentukan sejauh  mana remaja atau seorang anak  tidak dipengaruhi oleh kekerasan atau sejauh mana mereka bertahan saat menghadapi kekerasan.
Kecerdasan emosi dari subjek penelitian ini sebagian besar tergolong pada kategori sedang dan rendah (tabel 4.6). Dari data tersebut telah digabungkan antara subjek penelitian yaitu
44 remaja laki-laki yang pernah terlibat tawuran di SMK 'B' Jakarta, dan populasi yaitu jumlah keseluruhan kelas XII di SMK 'B' Jakarta. Dari 127 siswa yang mengikuti pengisian kuisioner dalam penelitian  ini  terdapat  44  siswa yang  pernah terlibat tawuran dan 83 siswa yang tidak pernah melakukan tawuran. Dari norma untuk kecerdasan emosi dapat dilihat jika terdapat 26 subjek yang tergolong ke dalam kecerdasan emosi rendah dan sangat rendah. Jumlah keseluruhan subjek yang tergolong rendah dan sangat rendah terdapat pada subjek yang pernah terlibat tawuran, dan 18 subjek yang pernah terlibat tawuran memiliki kecerdasan emosi yang tergolong sedang. Dari data norma yang ada dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi dari subjek penelitian cenderung rendah.
Sedangkan untuk perilaku tawuran dari subjek penelitian ini sebagian besar tergolong sedang, tinggi, dan sangat tinggi (tabel 4.9). dari
127 siswa yang mengisi kuisioner terlihat jelas pada tabel 4.9 jika 44 subjek yang pernah terlibat tawuran tergolong ke dalam kategori tinggi dan sangat tinggi. Hanya 4 subjek yang masuk ke dalam kategori sedang. Terlihat jelas perbedaan antara siswa yang pernah terlibat dalam tawuran dan yang tidak pernah terlibat dalam tawuran. Dari kecerdasan emosinya-pun terlihat jika siswa yan per na terli b a tawu ra m em i li ki kecerdasan emosi yang cenderung rendah. Analisis norma ini semakin menguatkan hasil penelitian ini  jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku tawuran pada remaja laki-laki di SMK 'B' Jakarta.
Walaupun dari 127 remaja laki-laki di SMK  'B'  Jakarta  hanya  44  siswa  yang  dapat dijadikan subjek penelitian untuk remaja yang pernah terlibat tawuran, namun hal ini cukup mengkhawatirkan dikarenakan hanya dalam satu sekolah di Jakarta jumlah siswa yang melakukan perilaku tawuran cukup tinggi. Jika dikaitkan dengan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengenai kasus tawuran pelajar di DKI Jakarta pada tahun 2013 yang berjumlah
255 kasus, maka bisa dikatakan jika remaja yang terlibat dalam tawuran di Jakarta ini sangat banyak jumlahnya.
Dengan banyaknya remaja yang terlibat d a l a  t a w u r a  i n  m e n j a d  s a n g a t mengkhawatirkan mengingat salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Dimana untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal dan non- formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/ keahlian yang professional Havighurst (dalam Dariyo, 2004). Schaie (dalam Dariyo, 2004) mengatakan jika masa tersebut diistilahkan sebagai masa aquisitif yakni masa di mana  remaja  berusaha  untuk  mencari  bekal p e n g e t a h u a  d a  k e t e r a m p i l a  g u n a mewujudkan cita-citanya agar menjadi seorang ahli yang profesional di bidangnya. Karena itu adalah hal wajar agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri secara matang dan sebaik- baiknya. Setiap sekolah yang ada pastinya mengajarkan hal-hal baik kepada siswanya guna mempersiapkan diri para siswa untuk terjun ke masyarakat. Namun kenyataan yang terjadi pada saat ini marak terjadi tawuran atau perkelahian antar sekolah yang dilakukan oleh para siswa. Tentu saja tawuran ini adalah kegiatan yang negatif dan tidak ada manfaatnya untuk para remaja. Tawuran hanya akan menyebabkan korban dan kerugian fisik maupun materi.
Perilaku penyerangan atau tawuran ini adalah perilaku yang diakibatkan kurangnya kemampuan seorang remaja untuk mengelola emosi atau kemarahannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Salovey dan Mayer (1990) yang mengatakan jika orang yang memiliki kecerdasan emosi mampu menyalurkan kemarahannya untuk hal-hal yang positif. Bisa dicontohkan dalam hal tawuran remaja ini. Jika seorang remaja yang merasa marah atau tidak terima jika sekolahnya diserang atau diperolok oleh sekolah yang dianggap 'musuh'nya, remaja yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik akan dapat menyalurkan kemarahannya melalui hal yang lebih positif, contohnya mungkin dengan melakukan sesuatu yang bisa membuat s e k o l a h n y  l e b i  b e r p r e s t a s  l a g i . Kemarahannya bisa dijadikan sebuah motivasi untuk menjadi lebih baik. Sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini adalah remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi maka akan membuat perilaku delinkuensi pada remaja cenderung menjadi rendah.
Dari hasil wawancara singkat dengan guru sekolah tersebut, yang hasil wawancara terdapat pada latar belakang, dapat diambil kesimpulan jika sekolah sendiri sudah cukup banyak mengupayakan cara agar meminimalisir terjadinya tawuran ini. Namun kembali lagi kepada siswanya masing-masing. Tiap-tiap individu pastinya memiliki cara berpikir dan kemampuan mengolah emosi yang berbeda. Dan kemampuan mengolah emosi yang rendah inilah yang membuat seorang remaja akan melakukan tawuran.  Semua doktrin ataupun ajakan untuk melakukan tawuran, perkelahian, ataupun penyerangan terhadap sekolah lain tidak akan berpengaruh untuk remaja yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
Penelitian ini dilakukan hanya pada subjek laki-laki. Dikarenakan dalam beberapa t e o r  m e n g e n a  p e r i l a k  d e l i n k u e n s i menyebutkan jika anak laki-laki lebih banyak y a n  m e l a k u k a  k e n a k a l a  r e m a j a dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku kekerasan. M e n u r u  p e n e l i t i a  d a r  S a a  ( 2 0 0 3 ) p e rb a n d i n g a  a n a  l a k i - l a k  d a  a n a k


perempuan  melakukan  tindakan  perkelahian pelajar adalah 50:1.
Penelitian ini tentunya memiliki beberapa kelemahan yang dapat mempengaruhi pembahasan atau analisis pada subjek. Beberapa kelemahan dalam penelitian ini yaitu : Metode pengambilan data menggunakan uji terpakai. Dimana alat ukur yang digunakan pada subjek tidak melalui uji coba awal sebelumnya. Uji coba berguna untuk mengetahui apakah aitem-aitem yang  tersedia sudah cukup  jelas dan  mudah dipahami. Sedang dalam penelitian ini penyusunan alat ukur hanya dibantu oleh rater atau professional judgment dalam menilai perbaikan kalimat yang digunakan dalam alat ukur tersebut. Namun uji coba terpakai digunakan karena keterbatasannya jumlah populasi subjek. Kelemahan selanjutnya penelitian ini hanya dilakukan di satu sekolah. Sehingga jumlah subjek yang didapat tidak terlalu banyak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil uji analisa data didapatkan sebuah kesimpulan jika terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan perilaku delinkuensi pada remaja yang pernah terlibat tawuran di Jakarta. Hubungan negative ini menunjukkan jika semakin tinggi kecerdasan emosi seorang remaja makan akan semakin rendah perilaku delinkuensi atau kenakalan pada remaja. Saran untuk peneliti selanjutnya : mengumpulkan data pasti jumlah pelajar yang tawuran sehingga memungkinkan untuk menggunakan metode random sampling. Jika ingin meneliti mengenai tawuran pelajar bisa  melakukan penelitian di beberapa sekolah agar mendapat subjek yang lebih banyak. Saran untuk sekolah yang siswanya terlibat tawuran : bisa memberikan pendekatan secara individual kepada siswa yang terlibat tawuran. Karena pendekatan individual ini dapat melatih siswa agar lebih memiliki keterampilan memahami emosi. Saran untuk remaja yang terlibat tawuran : untuk mencegah terjadinya tawuran sebaiknysiswa langsung kembali ke rumah masing-masing setelah pulang sekolah. Jika ingin melakukan aktifitas lain bisa dilakukan di sekolah karena akan lebih aman dengan pengawasan guru, dan kemungkinan terjadinya penyerangan dari sekolah lainpun semakin kecil. Untuk para remaja yang merasa mudah terpancing emosi akibat penyerangan sekolah lai dapat mencoba untuk menyalurkan kemarahannya pada kegiatan seperti olahraga dan ekstrakulikuler lainnya di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A., Byrne, D. (1994). Social psychology: understanding human interaction, (10th ed.), Allyn & Bacon, A Division of Simon & Schuster, Inc, Boston.
Castillo R, Salguero JM, Fernández-Berrocal P, Balluerka N. (2013). Effects of an emotional intelligence intervention on aggression and empathy among adolescents. Journal of adolescent.
Dariyo, A, (2004). Psikologi Perkembangan Remaja, Bogor : Ghalia Indonesia.
E. Bynum, Jack. Dan E. Thompson, William. (2002). Juvenile Delinquency a Sociological Approach. Boston: A Pearson Education Company. Fifth editions.
Goleman D. (1997). Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Heryana T, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Hurlock, Elizabeth, B. (1999). Psikologi Perkembangan: “Suatu Pendekatan Sepanjang  Rentang
Kehidupan (Terjemahan Istiwidayanti & Soedjarno). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jensen, G., & Rojek, D. G. (1992). Delinquency and youth crime. Prospect Heights, Ill: Waveland. Kartono, Kartini. (2006).  Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kim, D. H., Wang, C., Ng, K. M. (2010). A rasch rating scale modeling of the schutte self - Report emotional  intelligence scale in a sample of international students. Assessment, 17,4, 484-496.
Lomas, J., Stough, C., Hansen, K. e Downey, L. A. (2011) Brief report: Emotional intelligence, victimisation and bullying in adolescents. Journal of Adolescence, doi:10.1016/j.adolescence.2011.03.002.
Magai, C., Distel, N., & Liker, R. (1995). Emotion socialisation, attachment and patterns of adult emotional traits. Cognition and Emotion, 9(5),461–481.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey & D. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications (pp. 3–31). New York, NY: Basic Books.
Moskat,H.J., & Sorensen, K.M. (2012). Let's talk about feelings: Emotional Intelligence and Aggression
Predict Juvenile Offense. Honors in Psychology, Whitman College.
Moesono, A. dkk. (1996). Faktor-faktor pendukung terjadinya perkelahian sekolah dan kecenderungan pemecahan masalah oleh siswa. Kerjasama proyek Pembinaan Anak & Remaja Dirjend Kebudayaan dan Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Budaya Lembaga Penelitian UI.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Rahayu, Haditono, Siti, (1999). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam
Berbagai Bagiannya, Cetakan 2, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Munthe, J. (2013, 21 Desember). 2013, Tawuran meningkat tajam. sh.news [on-line]. Diakses pada tanggal 27 Desember 2013 dari http://www.shnews.co/detile-29900-2013-tawuran-pelajar- meningkat-tajam.html
Mustofa, M. (1998). Perkelahian massal pelajar antar sekolah di DKI Jakarta Studi kasus berganda, rekonstruksi berdasarkan paradigma konstruksivisme. Disertasi (Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pallant, J. (2011). SPSS Survival Manual (4th Ed). Sydney: Midland Typesetter.
Papalia, D.E., Olds, S.W. dan Feldman, R.D. (2007). Human Development. 10th edition. New York :
McGraw Hill. International Edition.